NIKAH BEDA AGAMA (Majalah GEMA Agustus 2015)

gema 2015 agustus

Saudara-saudari pembaca Gema yang terkasih!

Bila seorang laki-laki dewasa dan perempuan dewasa sudah saling mengenal dan sudah terjalin cinta yang tulus untuk membentuk kebersamaan seluruh hidup, Paulus menganjurkan agar mereka menikah untuk menghindari hidup berdosa(bdk. 1 Kor 7:2). Gereja mengharapkan agar putera-puterinya menikah dengan orang yang beriman Katolik. Harapan ini dimaksud untuk pemeliharaan iman dan kesakralan perkawinan yang disebut sebagai sakramen, yakni suami-istri sebagai tanda dan sarana keselamatan satu sama lain dan untuk yang lain. Hal ini dapat kita temukan dalam hakekat perkawinan menurut Gereja Katolik.

Perkawinan menurut Katolik didasarkan pada perjanjian (foedus) antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk membentuk kebersamaan seluruh hidup. Kebersamaan seluruh hidup, monogam dan indissolubile, artinya hanya terjadi antara seorang sungguh laki-laki dengan seorang sungguh perempuan dan tidak terceraikan, mempunyai tiga tujuan yaitu: kesejahteraan suami-istri, kelahiran anak, dan pendidikan anak.

Namun banyak faktor yang akhirnya yang membuat putera-puteri Gereja menentukan pilihan untuk menikah dengan yang tidak seiman (tidak baptis). Hasil penelusuran Gema kali ini menemukan bahwa pernikahan ini menyiratkan banyak masalah yang terjadi kemudian. Masalah itu muncul akibat dari pemahaman yang berbeda tentang perkawinan dalam karya keselamatan Allah, tentang pendidikan iman anak, tentang berbagai aspek hidup lainnya.

Di penghujung penelusuran Gema menguat anjuran untuk menghindari perkawinan beda agama. Anjuran ini berasal dari mereka yang mengalaminya. Semoga Gereja, di dalam anggota-anggotanya yang bersatu dengan Kristus Sang Kepala, semakin tulus, rendah hati dan penuh kasih mendidik dan mengakarkan iman putera-puterinya kepada Kristus Tuhan. Santo Paulus mengingatkan bahwa “Kristus telah memerdekakan kita. Karena itu berdirilah teguh dan jangan mau lagi dikenakan kuk perhambaan”(Gal 5:1).
Selamat membaca!

Salam
P. Fransiskus Riduan Naibaho, Pr.

 

Fokus,UTAMA,Agustus 2015:  Repotnya Satu Kapal Dua Nahkoda

Setuju maupun tidak, pernikahan beda agama kembali mencuat setelah lima warga negara Indonesia (WNI) mengajukan judicial review (peninjauan kembali) terhadap UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ke Mahkamah Konstitusi (MK) tahun lalu (2014). Mereka mempersoalkan pasal 2 ayat 1 yang berbunyi, “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.”

Lima WNI tersebut berpendapat, pengaturan (bunyi ayat tersebut) ini menyebabkan ketidakpastian hukum bagi orang-orang yang hendak melangsungkan perkawinan di Indonesia, karena penerapan hukum agama dan kepercayaan sangatlah bergantung pada interpretasi, baik secara individual maupun secara institusional. Ada tiga hal menarik tentang nikah beda agama, yakni dari sisi pandang agama, hukum (konstitusi), dan hak asasi manusia (HAM). Dari sisi agama, ternyata pandangan agama-agama ternyata tidak tunggal. Ada sebagian agamawan melarangnya, atau mewanti-wanti untuk tidak melakukannya. Namun, ternyata, tidak sedikit yang memberikan alasan keagamaan bagi dimungkinkannya nikah beda agama.

Dari sisi hukum/konstitusi, terjadi ketidaksepahaman para penyelenggara negara dalam menyikapi nikah beda agama. Mengacu pada UU yang sama, Kantor Urusan Agama (KUA) dan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (DKCS) tidak seia-sekata. KUA menolak pernikahan Muslim dengan non-Muslim dengan mengacu pada fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Kompilasi Hukum Islam (KHI). DKCS tidak seragam dalam praktik. Ada yang menolak, sebagaimana KUA, ada pula yang berkenan mencatat pasangan beda agama asalkan telah mendapatkan pengesahan dari agamawan/rohaniwan. Ada pula pejabat yang konyol menafsirkan, sebagaimana terjadi di Kantor Catatan Sipil Kabupaten Pasaman Barat, Sumatera Barat, pencatatan sah bila mempelai melaksanakan pernikahan secara agama pada rumah ibadah yang diakui pemerintah (rumah ibadah ber-IMB). Mungkin, di tempat lain, ada lagi ‘tambahan’ penafsiran lainnya.

Karena ketidakjelasan/kepastian ini mendorong munculnya aneka upaya ‘lari’ dari hukum; misalnya menikah di luar negeri. Ada pula dengan siasat membuat Kartu Tanda Penduduk (KTP), mencantumkan agama ‘yang disesuaikan’ dengan agama pasangannya, sehingga dianggap sebagai pernikahan yang seagama. Ada pula yang pindah agama ‘sementara’ agar pernikahannya disahkan oleh negara karena dianggap seagama. Tak lama setelah menikah, salah satu pasangan tetap kembali ke agama semula. Trik lainnya, mengikuti prosesi salah satu “hukum agama” sehingga pernikahan tersebut bisa disahkan pemuka agama dan dicatatkan pegawai pencatat nikah. Cara seperti ini dianggap serupa/mirip dengan upaya ‘pura-pura’ pindah agama hanya untuk memuluskan pernikahan beda agama.

Dari sisi HAM. Hak menikah adalah bagian HAM yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun, sebagaimana dinyatakan dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR) Nomor  XVII Tahun 1998 (Bab X mengenai Perlindungan dan Pemajuan Hak Asasi Manusia). Pasal 37 memuat hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Ketetapan yang sama menyebutkan delapan kelompok HAM yang diakui pemerintah, sebagai hak yang tidak boleh diabaikan dan dirampas oleh siapa pun, termasuk oleh negara; yakni hak untuk hidup, hak untuk berkeluarga, hak untuk mengembangkan diri, hak untuk memperoleh keadilan, hak untuk memperoleh kemerdekaan, hak berkomunikasi, hak keamanan, dan hak kesejahteraan.

Menikah Dua Kali

Di tengah kemajemukan suku bangsa/etnis, bahasa, agama yang dianut di negara ini, serta ditunjang dengan selalu terjadinya perpindahan/pergerakan (mobilitas) manusia, selalu terbuka peluang/kemungkinan terjalinnya suatu hubungan antarindividu yang berbeda agama/keyakinanyang berujung pada pernikahan. Hal demikian dialami pasangan suami-istri (pasutri) Deddi Prihandoko (39) dengan Bernadeth Firsty Rielia Renata (41). Karena situasi, pasangan ini merasakan dua kali pernikahan, secara Islam dan Katolik.  Pernikahan secara Islam dilaksanakan di Yayasan Paramadina, Jakarta. Kantor Urusan Agama (KUA) tidak mau mencatatkan pernikahan pasangan ini. Di Paramadina, mempelai langsung dibantu pembuatan catatan sipil pernikahan tersebut.  Setelah tahapan ini, pasangan ini melangsungkan pemberkatan pernikahan secara Katolik di Paroki St. Ignatius Loyola, Jakarta (lebih dikenal dengan nama Paroki Jalan Malang).

Renata menyatakan pernikahannya secara Islam tersebut tidak mengalami kendala, orangtuanya dan (calon) suami sama-sama Muslim.  Sementara untuk pernikahan secara Katolik, lanjut Renata, juga tidak masalah walau hanya ibunya  saja yang menghadirinya. Anak tertua pasutri ini telah bersekolah di Education 21, sebuah sekolah umum. Baru satu yang telah telah dibaptis dan sedang persiapan komuni pertama.  Sesuai janji saat pemeriksaan kanonikmenjelang pernikahan, Renata konsisten mendidik anak-anak secara Katolik, demikian pula suaminya.

Deddi Prihandoko (39), mengisahkan masa pacaran mereka  selama dua tahun. Deddi  tahu ada perbedaan agama. Awal pacaran, katanya belum terpikirkan soal perbedaan ini. Sejalan dengan waktu, ketika hubungan semakin serius, Deddi mengetahui (bakal) tidak bisa menikah beda agama, hingga akhirnya mendapat artikel berkaitan nikah beda agama di Paramadina. Paramadina membantu pernikahan mempelai beda agama, tanpa harus pindah agama. Beberapa teman Deddi menjaga mengalami yang  sama. Karena orangtua Renata beragama Islam dan Deddi Muslim, maka tidak perlu wali pernikahan. Yang menikahkan orang Muslim sehingga lebih gampang. Setelah pernikahan secara Islam di Paramadina langsung dicatatkan di Catatan Sipil di sana. Saat itu (masih) bisa,” ucap Deddi mengenang.

Setelah pernikahan, pasutri muda ini tinggal di Pekanbaru dan kini sedang menantikan kelahiran anak keempat. Terkait pendidikan iman anak, Deddi menyerahkan sepenuhnya kepada istri. “Saya tidak selalu ada di rumah terus. Biarlah istri saya yang mengurus. Ini juga sesuai dengan janji saat pemberkatan pernikahan kami di Gereja. Tetapi, menurut saya kalau anak sudah dewasa, sudah berpengetahuan, terserah mau ke mana. Mau tetap atau pindah? Itu tanggung jawabnya sendiri. Di bawah usia 18 tahun, biarlah anak-anak ikut ibunya,” tutur Deddi.

Anak tertua Deddi dibaptis dan mau terima komuni pertama. Anak kedua dan ketiga masih kecil. Saat persiapan baptisan anaknya, lanjut Deddiyang belajar istrinya. Dalam Kartu Keluarga (KK) dan Kartu Tanda Penduduk (KTP) tertulis agama saya Katolik.  Teman di kantor juga tak yakin dan tak percaya bila saya Muslim. Mereka lebih percaya saya Katolik. Saya pribadi tak ada masalah. Ini keluarga saya, koq! Terpisah jauh dari orangtua di Yogyakarta ikut mendukung kondisi saya ini. Uniknya, anak saya pernah bertanya, “Kok papa tidak sholat atau ke mesjid?”  

Anak-anak  tahu,  bahwa ayah dan ibunya berbeda agama.Dalam pemikiran Deddi, Tuhan ada sebagaimana tertulis dalam Kitab Suci. Bagi saya yang penting anak-anak berkelakuan baik.  Yang penting, jalankan ajaran agama masing-masing.  Soal perbedaan agama di antara kami, saya heran karena di luar keluarga kami lebih riuh membicarakan, sementara kamilah yang menjalaninya. Di luar pada ribut, sementara kami yang menjalani tenang-tenang dan biasa-biasa saja. Saya dan istri tidak mempertajam perbedaan yang ada,” tukasnya.

 

Mau Tetap Katolik

Pasutri Titin Suryani (Tjian Fan Tin), 45 tahun dan Jemi Rama Putra (The Leng Fun), 50 tahun juga menikah beda agama. Pasutri kelahiran Sumatera Selatan ini dikaruniai 2 puteri dan 1 putera. Pasutri ini melangsungkan pernikahan di Gereja Penyelenggaraan Ilahi, Lubuk Linggau, Sumatera Selatan, 17 Juni 1995. Karena calon suaminya tidak Katolik (Buddha), Titin mendapat dispensasi dan belajar persiapan perkawinan. Menurutnya segalanya berlangsung lancar, karena sebelumnya didialogkan, dan pasangannya membuat perjanjian tertulis, bahwa Titin tetap Katolik dan anak-anak kelak dididik secara Katolik.  “Hal ini jauh hari sebelum menikah saya katakana, dan calon suami saya setuju,” tutur Titin.

Warga Lingkungan St. Elisabeth Stasi Pusat, Paroki Hati Kudus Yesus, Pangkalan Kerinci, Riau ini mendidik anak-anak menurut tata cara Katolik. Ketiga anaknya telah dibaptis, menerima Komuni Pertama, dan Sakramen Krisma, sementara suaminya tetap Buddha. Pengaruh keluarga suami cukup kuat, apalagi ada nasar atau janji sejak kecil, tatkala suaminya sakit dan dijadikan ‘anak angkat’ Dewi Kuan Im. Sebelum pindah ke Pangkalan Kerinci, saat di kampung, suaminya masih sering mengantarkan istri dan anaknya ke gereja. Suaminya juga tidak pernah melarang Titin ke gereja atau aktif dalam kegiatan kegerejaan.

Titin menyadari dalam perjalanan berumah tangga, banyak suka-dukanya. Titin menghendaki persekolahan anaknya turut mendukung pendidikan agama Katolik. Sayangnya, di parokinya belum ada sekolah milik Katolik. Diakuinya, pendidikan pertama dan utama bermula dari keluarga, dari orangtua, namun belum tentu sejalan dengan pendidikan formal di persekolahan. Untuk ‘mengimbanginya’, Titin mengajak dan mengajar anak melakukan praktik ala Katolik, misalnya doa sebelum makan, tidur, dan bangun pagi. Titin ingin saat-saat indah masa pacaran, sama-sama ke gereja, bisa terulang lagi, pergi ke gereja satu keluarga.

Meskipun telah berupaya mendidik anak secara KatolikTherisia Yuli Retno SW (43) mengaku masih galau. Hal itu tidak lepas dari status perkawinannya yang berbeda agama dengan suaminya. Perempuan kelahiran Wonogiri, Jawa Tengah, 27 Juli 1972 menikah dengan Eri Nofrizal (42) yang seorang Muslim.  Saat pacaran Yuli tahu,  Eri seorang Muslim dan pacarannya pun sempat ‘putus-nyambung’, keluarga mereka masing-masing pihak tidak setuju. Walau sempat putus, karena cinta  nyambunglagi.Perbedaan agama pun tidak luput dari percakapan mereka. Mereka menikah secara Islam di Pekanbaru, tetapi Yuli menyatakan tetap Katolik.  Karena merasa jiwanya tidak tenang, Yuli berusaha menemukan cara bisa menikah di Gereja Katolik, meskipun suaminya tidak Katolik.  Yuli pun berkonsultasi dengan seorang pastor dan mengutarakan rencana nikah ulang di Gereja dengan suamu yang berbeda agama. Saudaranya yang di Bekasi menolong urusan surat-menyuratnya, seminggu kemudian beres. Akhirnya pernikahan Yuli dan Eri secara Katolik dilaksanakan di Bekasi. Semua rencana pernikahan itu disetujui suami. Suaminya beranggapan semua agama sama saja, hanya ‘jalan’ yang berbeda.

Menurut Yuli, suaminya hingga kini tetap rajin salat lima waktu, berpuasa pada Ramadan.  Berkaitan dengan agama anak, Yuli ingin sepasang anaknya dididik secara Katolik. Mereka mengikuti tahapan yang sama dengan anak lainnya. Suami memang tidak berkeberatan, tetapi ada hal yang membuat Yuli galau.  “Mana yang baik saja! Sekarang dididik secara Katolik, bagaimana nantinya, belum tahu? Nanti ditanya lagi pada anak kalau mereka sudah dewasa.” kata Yuli menirukan perkataan suaminya.

Suatu ketika, lanjut Yuli mengingat posisinya sebagai kepala keluarga dan imam rumah tangga, suaminya bilang, “Kelak, nanti, biarlah anak lelaki mengikuti (agama) saya. Anak perempuan mengikuti (agama) mama.” Menanggapi hal ini, di depan suaminya, Yuli langsung menanyakan  hal itu kepada sepasang anaknya,  sekaligus  dan menjelaskan perbedaan agama ayah-ibu mereka. Di depan ayahnya, mereka menyatakan mau mengikuti (agama) ibunya.  Akhirnya, suaminya menyerah dan berkata, “Ya, sudahlah! Didiklah secara Katolik, kalau dewasa nanti, biarlah mereka memilih sendiri!” 

Yuli masih bertanya-tanya terus makna kalimat  itu. Kalimat itu terus terngiang di telinganya. Yuli menginginkan anak dididik Katolik, tidak sementara saja.Sebagai istri dan ibu, Yuli merasa ‘iri’ melihat keluarga lain yang bersama-sama ke gereja. Rasanyatidak mungkin saya memaksa suami masuk Katolik, atau saya dipaksa meninggalkan iman Katolik. Karena kondisi seperti ini, kami pun bersepakat jalani saja dan tidak usah terlalu mempermasalahkan agama, karena hanya membuat ribut keluarga,” ujarnya.

Yuli tidak mengelak, keluarganya tidak luput dari masalah dan konflik. Terkadang di tengah ‘kegalauan’ tersebut, dirinya bertanya dalam hati, “Mengapa saya harus menikah seperti  ini? Namun, dirinya segera menyadari. Sudah terlanjur. Yuli menyadari pernikahannya yang berbeda agama ini juga ‘menyeret’ dua keluarga besar. Keluarga saya dan keluarga mertua awalnya sulit menerima, tetapi lambat laun bisa menerima. Keluarga suami saya sudah bisa menerima kehadiran keluarga kami. Mertua mulai akrab dengan saya dan anak-anak. Saat Idul Fitri, kami berkunjung, walaupun mereka jarang datang saat keluarga besar saya merayakan Natal.” Kata Yuli.

 

Orangtua Mewanti-wanti

Setiap orangtua menginginkan anak-anaknya mendapat jodoh yang seiman. Sejak anak-anaknya remaja,  Mutiha Sitohang (52) telah mengingatkan anak tertuanya, Dodi Marto Sitohang (26) tentang hal itu.  Suami Rosmawati br. Barutu ini melihat anaknya saat itu sudah akrab dengan gadis yang berbeda agama. Saya khawatir kelak ada kesulitan. Dalam perjalanan waktu,  Dodi saya ingatkan agar tidak menikahi perempuan yang beda agama.Menanggapi kekuatiran saya, Dodi menyatakan tidak masalah, karena (calon) istri mau mengikutinya. Sebagai orangtua, Mutiha tidak mampu lagi membendung kemauan anaknya. Mutiha minta agar Dodi lebih sering berkomunikasi dengan orangtua (calon) istri saat itu.

 

Saat pelamaran, calon besan – yang ternyata  sekampung  di Sumatera Utara – menyatakan setuju pernikahan anaknya menurut tata cara Katolik. Surat persetujuan pun diberikan. Pernikahan secara adat pun dijalani. Pasangan Dodi dan Nurasiyah menikah di Gereja Kristus Raja Stasi Manggala Junction, Paroki St. Yosef, Duri, Riau, 16 Juni 2015. Pengucapan janji pernikahan ini disaksikan Pastor Paroki, keluarga besar masing-masing pihak, dan umat stasi. Gedung gereja penuh sesak, dihadiri juga kerabat mempelai perempuan yang Muslim.

Bagi Mutiha, pernikahan beda agama anak sulungnya adalah pengalaman pertamanya. Menurutnya,  sangat penting ‘kesepakatan’ calon mempelai dan keluarga besarnya. Saya telah jauh hari mengingatkan mereka, terutama anak saya perihal nikah beda agama ini. Kalau tidak ada penyesalan melangsungkannya, tidak ada masalah bagi saya selaku orangtuanya, apalagi telah ada surat persetujuan dari keluarga mempelai perempuan,” tuturnya.

Dalam hal peresmian perkawinan ini, Pastor Paroki St. Yosef, Duri, P. Otto Hasugian, Pr (53) menyatakan tidak  ada perlakuan khusus kepada calon mempelai yang melangsungkan pernikahan beda agama(disparitas cultus) atau beda Gereja (mixta religio). “Biasa saja, sama seperti menangani calon mempelai yang lainnya. Pemberkatan pun juga berlangsung seperti biasa saja. Memang, saat penyelidikan Kanonik, ditanyakan kepada calon mempelai non-Katolik, mau (menjadi) Katolik atau tetap pada agamanya?  Berkaitan dengan dispensasi bagi mempelai Katolik, diberikan yuridiksi (wewenang) untuk pastor paroki. Setelah pemberkatan, pastor paroki melaporkannya kepada Uskup,” ucap P. Otto.

Namun, untuk pernikahan beda agama ada beberapa hal yang menjadi perhatiannya, misalnya topik pendidikan anak wajib secara Katolik. Diakuinya, dapat muncul keraguan – terutama bila pihak Katolik tidak kuat “memegang komitmennya”  karena terbawa arus ke pihak non-Katolik.  Berdasarkan temuannya, P. Otto menyebutkan sejumlah orang Katolik yang dikenalnya dan menikah beda agama tidak berhasil mendidik anak secara Katolik. (hrd)

Tinggalkan Balasan