Utamakanlah Kualitas: Renungan Minggu 8 November 2015
UTAMAKANLAH KUALITAS
Hari Minggu Biasa XXXII
(8 Nopember 2015)
1Raj 17:10-16; Ibr 9:24-28; Mrk 12:38-44
SEORANG IMAM saat mengawali khotbahnya menyampaikan anekdot tentang percakapan mata uang di kotak persembahan. Dalam satu peti persembahan terjadi perjumpaan antara lembar uang ratusan dan lima puluhan ribu dengan sepuluh ribuan, lima ribuan, ribuan, dan uang kepingan logam. Terjadilah pembicaraan di antara uang-uang di dalam pertemuan itu. “Teman-teman, kita ketemu di altar Tuhan. Senang rasanya menjadi persembahan di hadapan Tuhan. Saya yakin saudara-saudara sekalian pasti merasakan hal yang sama. Kehadiran kita di sini mencerminkan kedermawanan tuan dan nyonya kita yang menghadiri Perayaan Ekaristi”. ujar lembar ratusan ribu. “Maka seperti yang saudara-saudari lihat di sini, saya sebagai persembahan dilipat baik-baik dan rapi. Hem…. boleh dibilang harum baunya” ujar si puluh ribuan menimpali.
Dengan malu-malu dan ragu, uang lima ribuan yang lusuh dan terjepit di pojok peti persembahan menyahut, “Saya maklum saudara ratusan dan lima puluhan ribu. Saya merasa tidak layak menjadi persembahan”. Uang kepingan logam menimpali, “Saya pun demikian. Rasakan nich…. badan saya bau minyak gosok, bau badan saya apek karena baru pulang dari pasar sayur”. Lembar uang ribuan berkomentar singkat, “Apalagi saya. Badan saya amis, karena baru dipungut dari onggokan ikan tadi.” Anekdot di atas, ternyata berpengaruh besar terhadap cara umat yang mendengar khotbah pastor itu berkolekte. Selain jumlah bertambah, jumlah uang keping logam, lembaran lusuh, kumal, dan bau semakin berkurang.
Bacaan hari ini mengisahkan Yesus yang duduk menghadapi peti persembahan, memperhatikan cara orang banyak memasukkan uang ke dalam peti itu. Banyak orang kaya memberi dalam jumlah besar. Lalu datang seorang janda miskin, dan memasukkan dua peser, yaitu: satu duit. Menurut Yesus, justru janda miskin ini memberi lebih banyak daripada semua orang kaya yang memasukkan uang ke dalam peti persembahan itu. Mengapa demikian?
Janda dalam bacaan Injil itu mempunyai sesuatu dalam kehidupannya, tetapi tidak berkelimpahan bahkan berkekurangan. Namun janda itu bisa memberikan dua peser ke dalam peti persembahan, walaupun dia sangat membutuhkan uang itu. Janda itu telah memberikan sebagian besar dari semua yang dimiliki di dalam hidupnya. Sebaliknya, orang-orang kaya itu, meskipun memberi banyak persembahan hanya sebagian kecil dari miliknya yang diberikan. Orang-orang kaya itu memang telah menyumbang dalam jumlah banyak melalui persembahan itu. Tetapi mereka hanya menyumbang dari kelebihannya, bukan dari kekurangan. Dibandingkan dengan janda itu, persembahan orang-orang kaya belum ada apa-apanya dibandingkan dengan jumlah seluruh harta miliknya.
Bacaan Injil hari ini tidak berbicara tentang banyak sedikitnya persembahan secara kuantitas (jumlah), tetapi lebih secara kualitas (mutu). Ukuran kualitas persembahan itu dilihat atau diukur dari totalitas penyerahan diri seseorang itu kepada Allah. Totalitas pemberian diri ini tidak asing lagi dalam Kitab Suci. Dalam khotbah di bukit, totalitas pemberian diri ini dikatakan harus mulai dari dalam hati. Khotbah di bukit pertama-tama membicarakan tentang kemurnian hati. Bukan karena kemurnian hati itu sendiri, tetapi terlebih karena kerajaan Surga memang tidak terpisahkan dari kemurnian hati. Untuk masuk ke dalam surga orang harus berani mengurbankan mata, tangan dan kaki sebagai lambang sesuatu yang bernilai sangat tinggi bagi kehidupan. Semua ini memberi gambaran kepada kita bahwa totalitas penyerahan diri merupakan suatu perjuangan. Oleh sebab itu, di dalam Gereja, tidak ada seorang pun boleh merasa tidak punya apa-apa sehingga mereka tidak bisa memberikan persembahan kepada Tuhan. Bagi Tuhan, memberi dari kekurangan lebih bernilai daripada memberi karena kelebihan.