Mewujudkan Persekutuan Dalam Keluarga (Gema, Februari 2016)

Kulit FebruariMenurut Ajaran Gereja, keluarga kerap kali dilihat sebagai Gereja dengan sebutan: Gereja mini, Gereja keluarga, Gereja-rumah tangga. Dan memang benar bahwa pada hakekatnya keluarga merupakan persekutuan pribadi-pribadi umat beriman dan karenanya merupakan Gereja yang benar dan sungguh-sungguh yang dibangun oleh Kristus dalam suatu perkawinan sakramental; dalam kesatuan iman, harapan dan kasih. Persekutuan pribadi-pribadi di dalam keluarga menjadi tanda dan citra persekutuan Bapa dan Putera dalam Roh Kudus. Di dalam kelahiran dan pendidikan anak-anak tercerminlah kembali karya penciptaan. Allah yang memanggil keluarga, supaya mengambil bagian dalam Ekaristi, doa dan Kitab Suci yang meneguhkan panggilan mereka.

Persekutuan antar-pribadi di dalam keluarga, sebagaimana digambarkan oleh Paulus dengan banyak anggota tubuh, telah menghasilkan satu kedekatan timbal balik menyangkut perasaan, kecenderungan, dan minat. Di dalam keanekaragaman dan dengan kelebihan-kelebihan khusus: ia dipanggil untuk mewujudkan “komunikasi hati penuh kebaikan, kesepakatan suami isteri, dan kerja sama orang-tua yang tekun dalam pendidikan anak-anak” (GS 52,1). 

Di dalam keluargalah sebagai persukutuan, seseorang sejak kecil dapat belajar menghormati nilai-nilai kesusilaan, menghormati Allah, dan mempergunakan kebebasan secara benar. Di dalam keluargalah seseorang belajar terlibat dalam kehidupan menggereja secara benar serta melatih diri bagi kehidupan sosial. Karenanya seringkali disebut dan memang tepat demikian bahwa keluarga disebut sebagai komunitas basis Gerejani sekaligus sel pokok kehidupan sosial. Ia adalah persekutuan kodrati yang tidak dapat dipisah oleh manusia dikarenakan Allah yang membentuk demikian serta memanggilnya untuk saling menyerahkan diri di dalam cinta kasih dan melanjutkan kehidupan yang berasal dari-Nya.

Bagaimanakah seharusnya keluarga menghidupi diri sebagai persekutuan pribadi-pribadi yang telah dibangun oleh Kristus untuk masa sekarang? Gema edisi Februari ini mencoba meneropong pendapat dan realitas bagaimana seharusnya keluarga-keluarga menghidupi persekutuan yang ikut ambil bagian secara aktif sebagai tanda dan sarana keselamatan.

MENGHIDUPI PERSEKUTUAN DI KELUARGA TAK UTUH LAGI

Persekutuan keluarga tak luput dari ‘partisipasi’ semua anggota keluarga yang ada di dalamnya melaksanakan peran-perannya. Ada suami, istri, anak; atau ada ayah-ibu dan anak. Namun, tak terbantahkan, ada kalanya anggota keluarga tidak lengkap; misalnya ayah atau suami telah tiada,   ibu atau istri tiada. Ketiadaan suami – karena meninggal dunia – tentu membuat seorang istri harus mampu menjalankan dua fungsi sekaligus dalam keluarganya, sebagai ibu sekaligus menjadi ‘ayah’ bagi anak-anaknya.

fokus,mbak tyas,3
Maria Tyas Ekawati bersama anak-anaknya

Itulah yang dialami Maria Tyas Ekawati (57). Ia menjadi ibu sekaligus ‘ayah’ bagi sepasang anaknya, sejak suami, Yohanes Mujimin meninggal dunia, tahun 2000, karena sakit. Saat itu, anak-anaknya masih kecil dan sandaran hidup telah tiada. Bila sebelumnya, ia hanya sebagai ibu rumah tangga biasa; sepeninggal suaminya, semua tanggung jawab tersebut berada di pundaknya. Dua tahun kemudian (September 2002), anak ketiganya atau bungsu meninggal dunia – menyusul sang ayah – karena sakit. Suatu keperihan yang teramat sangat berat bagi Tyas. Bahkan, sempat terbersit dalam pikirannya untuk mengakhiri hidupnya, namun ia segera sadar kehidupan keluarganya mesti terus dilangsungkan.

Tyas mengakui beberapa saat setelah suaminya meninggal dunia, dirinya stress, suntuk, galau, nyaris putus asa memikirkan himpitan hidup yang bakal dijalaninya. Namun, dirinya segera sadar dan tak mau berlama-lama dalam kesedihan, apalagi Tyas melihat dua anaknya yang butuh bimbingan dan dampingannya. Ia segera berbenah, menyampaikan curahan hati (curhat) kepada pastor, ikut dalam organisasi yang dapat menghibur dan mengembangkan kehidupan rohaninya. Ia terlibat dalam kegiatan Legio Maria, persekutuan doa karismatik Katolik, Gerakan Imam Maria (GIM), doa Koronka. “Saya terlibat bukan untuk melarikan diri dari kenyataan keluarga, tetapi untuk lebih membuka pikiran dan wawasan, serta mendapatkan ketenteraman batin. Saya tidak pernah melantarkan anak-anak bila ada kegiatan di Gereja. Doa sungguh mujarab dan menguatkan saya sebagai ibu dan ‘ayah’ bagi anak-anak,” tuturnya.

Agar asap dapur rumah tangganya tetap mengepul dan bisa menyekolahkan anak-anaknya, Tyas, bekerja apa saja asalkan halal. Bila ia mengharapkan uang pensiun sang suami, pastilah tidak mencukupi untuk kebutuhan keluarganya. Tanpa ragu, Tyas memutuskan bekerja. Ia pernah bekerja di Wisma Cinta Kasih, di Rumah Bersalin “Elisabet”, tenaga homecare (merawat orang sakit dan lanjut usia di rumah yang bersangkutan), membersihkan kuburan atau makam di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Tunggul Hitam Padang, bekerja di kantin, bekerja di rumah orang.   Sempat suatu ketika, sedemikian berat perjuangan hidupnya dan rasanya tak tertanggungkan lagi, anak keduanya dititipkan sementara waktu pada saudara perempuannya di Pasar Usang, Padangpariaman. Saat itu, anak keduanya berusia taman kanak-kanak. Selama hampir lima tahun, anak keduanya tinggal bersama adiknya – hingga kelas IV SD. Tyas berkumpul bersama kembali saat anak keduanya kelas V SD.

Tyas mengakui, sempat terlintas dalam pikirannya untuk menikah lagi agar dua anaknya mempunyai ayah dan ada yang bisa menopang kehidupannya, tetapi pikiran semacam itu segera dihapusnya. Terpikir olehnya resiko menikah lagi, walau beberapa lelaki berupaya mendekatinya saat itu – ada yang seagama dan ada pula beda agama. Ia pun tak mau pengalaman buruk yang dialami perempuan lain yang menikah lagi – sepeninggal suami – akan juga dialaminya. Ia tidak mau anaknya teraniaya gara-gara keinginannya menikah lagi. Lantas, Tyas lebih berpikir untuk berkonsentrasi merawat dan mengurus dua anaknya, ketimbang menikah lagi, bakal mempunyai anak lagi, kemungkinan terburuk lainnya bila menikah lagi, dan sebagainya. Anak-anaknya yang masih kecil dan polos sering bertanya kepadanya, “Bu, di mana ayah? Teman yang lain punya ayah, saya koq tidak punya ayah?” Tyas tahu, anak-anaknya merindukan kehadiran sang ayah.

Anaknya kerap menangis setiap kali mendengar ‘raungan’ sirine ambulance. Tyas merasa, bunyi suara itu mengingatkan kembali anak pertamanya dengan peristiwa sedih yang dialami ayahnya. Maka, untuk menjawab pertanyaan anaknya, biasanya Tyas membawa anaknya ke pekuburan suaminya di TPU Tunggul Hitam. Di tempat ini, Tyas menjelaskan ‘keberadaan’ sang ayah pada anaknya. Ia berharap anaknya mendapat jawaban pertanyaan tersebut dan bisa memuaskan rasa keingintahuan anak-anaknya.

Meski harus mati-matian mencari nafkah, yang terkadang tidak sanggup memenuhi kebutuhan keluarganya,  bagi Tyas tinggal bersama dengan anak-anaknya lebih penting. Tyas bisa meluangkan waktu untuk mendidik anak-anaknya, sambil mencari nafkah. Ia pun melibatkan anaknya dalam kegiatan Bina Iman Anak (BIA), mengajak anaknya  berdoa bersama di rumah dan ke  gereja. Bagi Tyas, doa dapat menjadi alat yang ampuh di tengah kegalauan dan kesulitan hidup. Saat berdoa, Tyas merasa dapat mencurahkan seluruh isi hatinya, keluhannya, serta meminta bantuan Yang Maha Kuasa.

“Saya mengajar anak untuk tetap mempertahankan iman Katolik, meski berada di tengah teman berbeda keyakinan, agar anak tidak mudah dibujuk dan diiming-imingi. Dulu saya pun pernah diajak pindah agama dengan banyak iming-iming. Tetapi, saya tidak mau. Saya tidak bisa meninggalkan Tuhan Yesus! Saya berharap anak-anak dapat belajar dari apa yang terjadi dalam keluarganya, apa saja yang saya lakukan selama ini, dan mereka bisa mandiri,” tukasnya lagi.

Setidaknya hal tersebut telah dilakukan Tyas terhadap anak keduanya. Ia mengajak anaknya bekerja, mencari duit dengan penghasilan terbatas. “Yang penting mendapat pengalaman! Jangan heran, kalau bos banyak maunya dan cerewet,  jalani saja. Dengan pengalaman ini, saya mau mengajarkan kepada anak sikap-sikap dalam pekerjaan dan merasakannya. Kini, dia sedang menempuh perkuliahan. Anak pertama telah berkeluarga dan dikarunai satu anak. Sekarang, saya menjadi seorang nenek!” ucapnya.

Berusaha Terus Memperbaiki Diri

Saya merasa bahagia, dikaruniai Tuhan suami yang baik dan dua anak yang membanggakan. Saya menikah dengan Choky Napitupulu di gereja Paroki St. Maria A Fatima, Pekanbaru, dua puluh tahun lalu  (4 Juli 1996) .  Kami dikaruniai sepasang anak.

Maria Mariana Br Panjaitan bersama keluarga
Maria Mariana Br Panjaitan bersama keluarga

Saya menerima Choky sebagai suami atas dasar cinta.  Selama dua puluh tahun pernikahan kami, juga tak luput dari riak-riak, ada kesulitan menghadang yang mesti kami lalui. Mulanya, riak-riak muncul karena saya baru mengenal bagian luar pasangan dan dianggap sudah bagus. Begitupun dengan keluarga besar saya. Tiga tahun pertama usia pernikahan  merupakan saat-saat terberat bagi kami untuk lebih mengenal. Kami berhasil melewati masa-masa sulit dan berusaha pandai-pandai membawakan diri, terus berproses hingga sekarang. Kini, keadaannya jauh lebih mantap. Meskipun begitu, ada hal tertentu dari suami saya yang tidak diketahui, begitupun dengan sisi kehidupan saya yang tidak diketahuinya. Dalam kelemahan dan kekurangan, kami selalu berusaha memperbaiki diri.

Saya merasa sudah lengkap menjadi perempuan;  sebagai istri dan ibu dari anak-anak. Kami mengajarkan anak tentang hidup rohani dan memberinya  teladan kehidupan tentang kejujuran, toleransi, cinta kasih, keterbukaan, dan kerjasama. Kebersamaan kami dengan mereka merupakan pengalaman yang indah.  Mereka mempunyai kepercayaan diri, hal yang telah kami tanamkan ada sewaktu kecil, kini terlihat buahnya. Nilai-nilai positif ini menjadi bekal mereka menjalani kehidupan. Soal pendidikan nilai dan karakter, saya tekankan kepada mereka.

Saya katakan kepada mereka, di mana pun dan apa pun kegiatan, selalu ada “pihak” yang melihat perbuatan kita. Saya menaruh kepercayaan penuh kepada anak sulung kami yang kini kelas XI SMA. Dalam pergaulan, ia telah mampu menjadi penunjuk bagi temannya. Sementara untuk adiknya yang kini kelas VI SD, suka mencontoh  kakaknya. 

Saya mempunyai waktu lebih banyak mendampingi anak, ketimbang suami saya yang bekerja wiraswastawan. Meskipun saya sibuk di ormas Wanita Katolik Republik Indonesia Cabang St. Paulus, Pekanbaru – sejak 2 Maret 2013 sebagai ketua, saya mempunyai waktu lebih untuk memerhatikan kebutuhan mereka. Saya selalu mengingatkan mereka batasan-batasan pergaulan.  Di luar jam sekolah, mereka mengikuti kegiatan  sesuai minatnya di bidang musik, yaitu: les piano, gitar, dan drum.  Agar  talentanya tidak “menjadi milik diri”, kami mendukung mereka sebagai pemazmur dan organis di gereja.

Walaupun kami mempunyai kesibukan masing-masing, selalu ada waktu bersama untuk ngumpul pada Sabtu dan Minggu. Sepulang gereja dan malam minggu kami berkumpul dan mengurangi kegiatan di luar. Saat berkumpul itulah kami membangun komunikasi, walaupun sekedar dengan bermain bersama. Kami merasa, seiring berjalannya waktu, kami semakin akrab. Terlebih setelah kami kami mengikuti kegiatan Marriage Encounter (ME) dan kegiatan lanjutannya, semakin berusaha memahami hakekat hidup berumah­tangga yang merupakan Gereja Mini. Setelah mengikuti berbagai kegiatan itu, sebagai suami-istri, hubungan kami pun semakin berkembang dan terbuka sehingga terbangun saling pengertian. Saya berharap, kami bisa menjadi ‘Gereja Domestik’ (Ecclesia Domestica), Gereja Mini, dan bersama dengan keluarga lainnya menjadi bagian tubuh Gereja Kristus membangun Gereja Universal.

Berjuang Menjadi ‘Gereja Keluarga’

Topik tentang keluarga tidak pernah habis-habisnya, aktual sepanjang masa. Hidup berkeluarga hadir sejak awal sejarah manusia. Kisah Adam dan Hawa pun mau menggambarkan bagaimana lelaki dan perempuan menjadi ‘satu daging’. Kehidupan keluarga juga tidak luput dari berbagai tantangan.

Daniel Nainggolan
Daniel Nainggolan

Bagi bendahara paroki Hati Kudus Yesus, Pangkalan Kerinci, Riau, Daniel Budi Nainggolan (37) tidak ada masalah yang tidak bisa diselesaikan! Apa pun itu! Untuk itu, kami harus saling percaya dan bicara terbuka. Tidak menghindar dari masalah. Memendam bibit konflik dalam keluarga hanya akan memperburuk hubungan suami-istri!” ucap Daniel.

Lelaki kelahiran Kisaran, Sumatera Utara, 23 September 1978 ini mencontohkan kehidupannya sendiri. Daniel dan istri mempunyai perbedaan latar belakang keluarga. Dirinya dari keluarga Katolik, istrinya Protestan. Daniel anak bungsu, istrinya anak sulung. “Pasti banyak prinsip dan kebiasaan yang sulit  disamakan di awal hidup berumah tangga. Beberapa hal di antaranya berproses hingga kini. Butuh kesabaran dan mesti berulang dicoba. Kuncinya, kesabaran dan tidak ingin menang sendiri. Saya dan istri menyimpan stensilan janji nikah yang diucapkan sepuluh tahun silam (2006). Sekali waktu, kami berdua melihat dan membacanya bersama-sama. Istri telah Katolik dan menerima Sakramen Krisma,” ungkap Daniel.

Bagi Daniel, langkah tersebut menjadi ‘rekoleksi sederhana’ bagi dirinya dan istri. “Kami berusaha membiasakan doa harian dalam keluarga. Adven silam (2015), kami membuat korona di rumah dan setiap malam berdoa bersama. Salah satu pelayan pembagi komuni kudus paroki ini membenarkan, keluarga adalah Gereja Kecil (ecclesia domestica) yang dinamis. Ayah tiga anak ini berujar,  “Orang-orang di dalamnya memang belum suci sepenuhnya, tetapi kalau kita mengundang Allah sebagai Kepala dan Pemimpin dalam keluarga, pastilah kita akan dituntun-Nya kepada kekudusan. Sama seperti Gereja, orangtua punya tugas sebagai pewarta. Pertama-tama kepada anak-anaknya, lalu bersama-sama menunjukkan kepada lingkungan, bahwa keluarga kita adalah miniatur Gereja.”

Berdoa Bersama

Tidak hanya berwacana tentang ecclesia domestica, Daniel dan keluarga telah menerapkannya. “Kami selalu berdoa bersama sebelum dan sesudah makan, juga sebelum tidur. Kami selalu makan bersama, minimal pada malam hari. Makan malam bersama menjadi momen spesial dalam keluarga. Saya akui, pembacaan Kitab Suci maupun renungan secara rutin dalam keluarga belum terlaksana. Ini menjadi rencana tersendiri dalam keluarga kami. Keluarga yang mempunyai kebiasaan doa harian bersama, sejak anak berusia empat tahun, mampu menghafal doa-doa dasar – meski tanpa sekalipun diajarkan. Teaching by doing, mengajar lewat praktek, akan tertanam mendasar ketimbang disuruh-suruh menghafal,” katanya.

Daniel mengupayakan agar suasana yang direnungkan Gereja dibawa ke dalam keluarganya. “Apa pun nuansa di gereja, kami usahakan copy pastekan ke rumah. Saya juga mengajak keluarga mengikuti program lingkungan/kring St. Fransiskus, mengunjungi rumah keluarga yang mengalami suka-duka,” ucapnya mencontohkan.

yulius patlan,1
Yulius Patlan makan bersama keluarga

Sementara itu, salah seorang aktivis Paroki St. Maria Bunda Yesus, Padang, Yulius Patlan (39) mengungkapkan persekutuan dalam keluarganya diwujudkan dalam kebersamaan. Suami Ellisabet Patty (38) ini menyatakan keluarganya ingin menjadi sebuah ‘Gereja kecil’ lewat serangkaian praktik hidup rohani, misalnya: berdoa bersama sebelum dan setelah makan, berdoa sewaktu bangun tidur di pagi hari, ikut berdoa Rosario, dan doa bersama lainnya. “Tekad kami ada, tetapi tidak selalu lancar, apalagi bila ada kesibukan, tugas, kegiatan. Bila saya berhalangan atau ada kegiatan, maka anak-anak diurus mamanya, istri saya,” ujarnya.

Tatkala menikahi Ellisabet, 6 Juni 2004, di gereja Paroki St. Maria Bunda Yesus, Tirtonadi, Padang hingga kini, Yulius mengakui sama-sama mengambil peranan sebagai suami-istri, ayah-ibu. “Kami saling melengkapi, mengingatkan, mengisi, dan bekerja sama; sehingga tidak ada yang lebih dominan. Saya tidak menutup mata, masa kini banyak tantangan yang dihadapi keluarga, terutama dalam hal pemanfaatan alat komunikasi modern. Yulius melihat besarnya dampak dari media komunikasi modern dalam relasi antar­anggota keluarga. “Setiap orang sibuk sendiri, sehingga terkadang melupakan relasi antaranggota keluarga. Rasanya, lebih mudah berkomunikasi dengan orang luar rumah ketimbang sesama anggota keluarga. Anak saya saja juga terpengaruh dengan game online. Sedemikian kecanduannya sehingga lupa waktu, tidak lagi belajar, berekreasi, berkontak dengan orang lain. Muncul sifat malas belajar. Untuk meminimalisir dampak negatifnya, saya membagi waktu. Yang penting, sepulang sekolah, istirahat, makan, belajar setelah pulang sekolah,” tuturnya. Dalam kehidupan keluarga, ada suka-duka hidup bersekutu sebagai anggota keluarga, sebagai ‘gereja mini’. Yulius mencontohkan, ia selalu berusaha menenangkan diri, tatkala dalam suasana kalut. Ia melihat-lihat situasi, termasuk mendiamkannya sementara waktu. “Kalau situasi telah tenang, saya berinisiatif membuka komunikasi dengan istri. Bagi saya, melihat situasi atau suasana batin, mood, perlu agar memungkinkan terbukanya kontak dan komunikasi  untuk membicarakan persoalan. Saya tidak mendiamkan kekalutan dalam waktu lama,” ungkap Yulius.

Yulius juga membentuk hubungan akrab dan kompak dengan anak-anaknya. Dirinya juga pernah marah dan jengkel karena perilaku anak-anaknya. Namun, ia lalu berkontak dan membicarakan hal-hal yang membuatnya marah kepada anak-anaknya. “Sebagai ayah, saya mendekati, mendengarkan, menasihati, dan kadang kala juga harus tegas. Begitupun dalam kehidupan rohani keluarga. Saya selalu mengajak anak dalam aneka kegiatan rohani. Prinsipnya kami berjuang agar dapat menjadi ‘Gereja Keluarga’,” tuturnya.

Tantangan Mewujudkan Ecclesia Domestica

Yosef Hermanto Seksi Kerasulan Keluarga DPP Katedral Padang
Yosef Hermanto
Seksi Kerasulan Keluarga DPP Katedral Padang

Persoalan berat yang dialami keluarga Katolik dewasa ini adalah terkait penghayatan sakramen perkawinan.  Sakramen  memersatukan manusia yang berbeda latar belakang, bukan sekedar sarana melegalkan perkawinan. Namun, sekarang ini rasanya, ada pasutri yang terlalu gampang dan mudah mengutarakan bila tidak cocok bubar dan cerai saja.  Memang belum ada survei atau penelitian yang akurat terkait ‘pengerdilan makna’ sakramen perkawinan ini.  Namun, saya punya kekhawatiran, ada kecenderungan  perkawinan mengalami penyempitan makna. Hal ini menjadi tantangan Gereja: bagaimana pasangan suami istri Katolik sungguh memaknai sakramen perkawinan sebagai suatu persatuan di antara lelaki dan perempuan dalam membangun rumah tangga; antara suami istri saling menyempurnakan. Gereja tertantang untuk semakin memerhatikan keluarga, karena keluarga adalah Gereja Kecil (Ecclesia Domestica).

Perhatian terhadap keluarga sebagai Gereja Domestik  ini menjadi topik dalam Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI) ke-4, November 2015 silam. Sebab itu, Gereja mestinya lebih memerhatikan, memedulikan kerasulan keluarga; termasuk penyelenggaraan Kursus Persiapan Perkawinan (KPP). Jangan sampai KPP dianggap sekedar kursus untuk memperoleh tanda (sertifikat), tetapi kurang dimaknai isinya. Maka, bahan materi dan model KPP perlu dievaluasi dan diperbarui, lebih up to date, sesuai perkembangan zaman sehingga dapat membantu calon mempelai sebelum melangsungkan pernikahan.

Topik tentang keluarga merupakan topik penting, bukan hanya kebetulan SAGKI IV 2015 membahasnya. Bapa Suci pun prihatin terhadap kondisi keluarga masa kini; misalnya kurangnya komunikasi antaranggota keluarga, rumah tidak lagi menjadi surga tetapi semacam penginapan, losmen, hotel, atau anak-anak mencari pemecahan masalahnya pada orang lain. Keluarga seharusnya menjadi ladang yang subur dan segar untuk kembali berkumpul dan bersekutu dengan mencontoh  keluarga Nasaret.

Berkaitan dengan KPP di Paroki Katedral St. Teresia dari Kanak-kanak Yesus  Padang, Seksi Kerasulan Keluarga  belum ada rancangan baru. Masih akan digodok dalam tim. KPP bisa saja dalam bentuk retret yang dipadatkan selama tiga hari atau bisa juga dalam bentuk lain. Seksi ini akan mengarahkan perhatian mulai dari keluarga muda dengan usia pernikahan di bawah lima belas tahun.

Selain itu, kami juga akan menaruh perhatian terhadap pasangan suami-istri yang telah lanjut usia (lansia). Saat-saat seperti ini, terkadang mereka kurang terperhatikan oleh anaknya sehingga mereka kesepian. Mereka tidak mempunyai pekerjaan lagi sehingga ada kemungkinan terkena post power syndrome, ada pula yang kehilangan pasangan. Terpikirkan suatu wacana untuk menyediakan suatu tempat bagi para lansia bisa berkumpul bersama, bukan panti jompo. Misalnya, mereka berkumpul di pagi hari, berdoa bersama, berolahraga ringan, bermain dan ngobrol bersama. Sorenya, kembali ke rumah. Semacam tempat penitipan kaum lansia. Ada wahana atau ajang-sarana bersosialisasi, bertukar pikiran, berjumpa teman sebaya. Kami sedang memikirkan tempat dan tenaga agar rencana ini direalisasi setahun atau dua tahun lagi. Tentu ini tidak bisa sambilan saja, mesti profesional mengurusnya. Kami akan bentuk tim yang melibatkan banyak orang, butuh dukungan hirarki dalam bentuk dana dan sarana. (hrd)

Tinggalkan Balasan